Kepala BPOM Taruna Janji Ingatkan Ancaman Silent Pandemi Akibat Resistensi Antimikroba

Redaksi

Suarainspiratif.com,

INFORMASI NASIONALPandemi senyap atau resistensi antibiotik pada tubuh seseorang yang disebabkan oleh antimikroba merupakan ancaman global yang serius. Demikian disampaikan ilmuwan Prof Dr Taruna Ikrar, PhD, M.Biomed saat menyampaikan orasi ilmiah di Ballroom Universitas Prima Indonesia (Unpri) Medan, Sumatera Utara, Sabtu 4 Januari 2025.

Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, resistensi antimikroba kini menjadi fenomena biologis kompleks yang mengancam kemampuan manusia dalam mengendalikan mikroorganisme berbahaya. Fenomena resistensi antimikroba, katanya, tidak bisa dipandang sebagai peristiwa yang terisolasi, melainkan sebagai proses evolusi kompleks yang melibatkan seleksi alam dan adaptasi genetik.

Fenomena ini memungkinkan penyebaran kemampuan pertahanan antimikroba secara cepat. Bahkan di antara bakteri yang berbeda secara taksonomi. Menurutnya, proses ini merupakan manifestasi nyata dari evolusi biologis, di mana organisme secara genetik beradaptasi untuk bertahan dalam tantangan lingkungan dalam penggunaan antimikroba.

Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang, bahkan ketika terpapar obat antimikroba yang sebelumnya efektif membunuh mereka, kata peraih gelar kedokteran dari Universitas Hasanuddin tahun 1997 itu.

Taruna mencontohkan, bakteri bisa mengalami mutasi genetik dalam hitungan menit, sehingga bakteri bisa dengan cepat mengembangkan mekanisme pertahanan terhadap zat antimikroba yang sebelumnya efektif membunuh mereka. Ia mengatakan, spektrum mikroorganisme yang berpotensi menjadi resisten sangat luas. Selain bakteri, ada juga virus, jamur, dan parasit.

“Setiap kelompok memiliki karakteristik unik dalam menghadapi tantangan antimikroba. “Bakteri adalah contoh paling nyata, dengan kemampuan transfer gen horizontal yang memungkinkan mereka berbagi informasi genetik tentang resistensi antar spesies,” kata Taruna Ikrar yang juga dianugerahi gelar ilmuwan berpengaruh di Indonesia dari Universitas Prima Medan dan diserahkan langsung oleh Rektor, Prof. Crismis Novalinda Ginting, M.Kes. , serta dihadiri oleh Menteri Hukum Dr Supratman Agtas, sejumlah rektor, Pj Gubernur Sumut dan beberapa tamu undangan lainnya.

Konsep Resistensi Antimikroba

Pemahaman dasar tentang interaksi antara mikroorganisme dan agen antimikroba merupakan dasar dari konsep resistensi antimikroba. Menurut Taruna Ikrar, ketika diberikan antibiotik, pada awalnya obat tersebut mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan sebagian besar populasi mikroba.

Namun diantara populasi tersebut terdapat beberapa individu yang mempunyai variasi genetik keunikan yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup. “Mikroba yang memiliki gen resistensi tersebut tidak hanya mampu bertahan hidup, tetapi juga berkembang biak sehingga menghasilkan generasi baru yang secara genetik lebih tahan terhadap antimikroba,” ujarnya.

Mekanisme perlawanan, kata Taruna, sangat beragam dan canggih. Bakteri, misalnya, dapat mengembangkan resistensi melalui beberapa strategi genetik. Pertama, mereka dapat memodifikasi struktur molekul yang menjadi sasaran obat, sehingga antimikroba tidak lagi mampu mengikat atau mengganggu fungsi sel bakteri.

Kedua, bakteri dapat mengembangkan enzim yang dapat merusak atau memodifikasi struktur molekul obat sebelum obat tersebut dapat memberikan efek. Ketiga, mereka mampu mengembangkan pompa penghabisan, yaitu mekanisme yang secara aktif menghilangkan molekul obat dari sel sebelum obat tersebut dapat memberikan efek terapeutik.

Faktor Pendorong Resistensi

Taruna Ikrar mengatakan penggunaan antibiotik yang tidak rasional, baik di bidang kesehatan manusia maupun peternakan, menjadi penyebab utama. Ketika antibiotik digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, hal ini menciptakan tekanan seleksi yang kuat bagi mikroorganisme untuk beradaptasi dan berkembang. Selain itu, globalisasi, pergerakan populasi, dan perdagangan global mempercepat penyebaran strain resisten di seluruh wilayah dan benua.

Resistensi antimikroba, kata mantan Spesialis Laboratorium di Departemen Anatomi dan Neurobiologi Universitas California ini, bukan hanya sekedar tantangan medis, tetapi juga merupakan masalah kompleks yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Hal ini memerlukan pendekatan multidisiplin yang melibatkan mikrobiologi, genetika, epidemiologi, kebijakan kesehatan dan kesadaran masyarakat.

Upaya mengatasi resistensi antimikroba memerlukan strategi komprehensif yang tidak hanya fokus pada pengembangan obat baru, namun juga perubahan perilaku dan sistem.

Ke depan, lanjut Taruna, penelitian di bidang resistensi antimikroba akan semakin fokus pada pendekatan inovatif. Terapi Phago, terapi menggunakan bakteriofag yang secara spesifik dapat membunuh bakteri, merupakan alternatif yang menjanjikan.

Faktor antropogenik berperan penting dalam percepatan resistensi antimikroba. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional di bidang kesehatan manusia, peternakan, dan pertanian telah menciptakan tekanan yang mendorong percepatan evolusi mikroorganisme.

“Pemberian antibiotik dalam dosis subterapeutik, praktik pengobatan mandiri, dan penggunaan antibiotik spektrum luas telah memberikan keuntungan selektif bagi mikroorganisme yang resisten untuk berkembang dan menggantikan populasi yang sensitif,” kata Taruna yang menjabat sebagai Ketua Konsil Kedokteran Indonesia. (2020-2024) dan dipercaya sebagai Direktur International Medical Council (IAMRA) periode 2021-2025.

Menurutnya, pengendalian yang dikembangkan akan segera direspon dengan mekanisme adaptasi baru, sehingga menciptakan perlombaan evolusi berkelanjutan antara manusia dan mikroorganisme.

Oleh karena itu, katanya, pentingnya memahami resistensi antimikroba tidak bisa dilebih-lebihkan. “Ini bukan sekedar fenomena medis, tapi tantangan multidisiplin yang memerlukan kolaborasi lintas bidang mulai dari mikrobiologi, kedokteran, farmakologi, hingga kebijakan kesehatan masyarakat,” ujarnya.

dokter. Deksa

Intervensi apa pun harus mempertimbangkan kompleksitas biologis, sosial, dan ekologi yang terlibat dalam proses ini. Kesadaran global terhadap resistensi antimikroba terus meningkat. Organisasi internasional, pemerintah nasional, lembaga penelitian, dan komunitas medis semakin memahami bahwa mengatasi resistensi antimikroba memerlukan pendekatan yang komprehensif, proaktif, dan berkelanjutan.

Strategi yang efektif, katanya, tidak hanya bergantung pada pengembangan antimikroba baru, namun juga pada pengelolaan penggunaan yang bijaksana, peningkatan praktik pencegahan infeksi, dan pendidikan yang komprehensif.

Di Indonesia, resistensi antimikroba memiliki dimensi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor geografis, demografi, dan sistem kesehatan. Sebagai negara dengan keanekaragaman ekologi dan praktik kesehatan yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengendalikan penyebaran mikroorganisme yang resisten. “Diperlukan strategi nasional yang adaptif, berbasis penelitian, dan mempertimbangkan konteks lokal,” ujarnya.

Dampak Global

Taruna Ikrar menekankan, resistensi antimikroba telah berkembang menjadi krisis kesehatan global yang mengancam fundamental sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kemampuan medis dalam mengobati penyakit menular, namun juga mengancam seluruh arsitektur kemajuan medis yang telah dibangun selama satu abad terakhir.

Menurut Tdia, dampak ekonomi dari resistensi antimikroba sangat signifikan dan berpotensi menimbulkan krisis global. Bank Dunia memperkirakan pada tahun 2050, kerugian ekonomi global akibat resistensi antimikroba bisa mencapai 100 triliun dolar. Angka tersebut setara dengan hilangnya sekitar 3,8 persen produk domestik bruto global.

“Negara-negara berkembang akan terkena dampak paling parah, dengan potensi menjerumuskan jutaan orang ke dalam lingkaran kemiskinan akibat meningkatnya biaya pengobatan dan hilangnya produktivitas tenaga kerja,” kata Taruna, yang merupakan Farmakolog, Ilmuwan Kardiovaskular, dan Ahli Saraf terkemuka di Indonesia.

Aspek kesehatan masyarakat dari resistensi antimikroba jauh lebih kompleks dari sekedar statistik. Setiap kali suatu spesies mikroba menjadi resisten terhadap pengobatan, hal ini tidak hanya mengancam individu yang terinfeksi, namun juga menciptakan reservoir genetik yang berpotensi membahayakan seluruh populasi.

Rumah sakit dan fasilitas kesehatan, kata Taruna, juga akan terpaksa mengembangkan protokol pengobatan alternatif yang jauh lebih mahal dan kompleks. Prosedur medis yang saat ini dianggap rutin—seperti operasi caesar, penggantian sendi, atau kemoterapi—akan menjadi prosedur berisiko tinggi dengan potensi komplikasi infeksi yang signifikan.

Proyeksi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kata dia, memerlukan perhatian yang sangat mengejutkan dan komprehensif. Pada tahun 2050, diperkirakan 10 juta nyawa akan hilang setiap tahunnya akibat infeksi yang resisten – angka yang melampaui kematian akibat kanker.

Menurutnya, hal tersebut bukan sekadar prediksi statistik, melainkan peringatan keras mengenai potensi runtuhnya sistem kesehatan global. “Setiap tahunnya keterlambatan penanganan serius akan meningkatkan risiko bencana kesehatan global,” kata Taruna.

Respons internasional adalah kunci dalam mengatasi krisis resistensi antimikroba. Hal ini memerlukan kolaborasi lintas negara, lintas sektor, dan lintas disiplin. Diperlukan tidak hanya penelitian untuk mengembangkan obat baru, tetapi juga transformasi menyeluruh dalam praktik penggunaan antimikroba di bidang kesehatan, pertanian, dan peternakan. “Setiap negara, lembaga, dan individu mempunyai peran strategis dalam mencegah eskalasi krisis ini,” ujarnya.

Also Read

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Laporkan! Terima Kasih

Ikuti kami :

Tags

ced