Suarainspiratif.com,
Jakarta (ANTARA) – Ada ungkapan yang akrab di telinga masyarakat bahwa buku adalah jendela dunia. Di era transformasi digital saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa peran jendela dunia juga tergeser dengan hadirnya ruang digital yang dipicu oleh konektivitas internet.
Perkembangan digital ini telah membawa sebuah akses baru yang disebut juga dengan dunia online, dunia dimana segala sesuatunya terhubung dan tentunya banyak hal yang bisa dieksplorasi.
Semua kalangan, tidak terbatas pada status sosial, latar belakang pendidikan atau usia, kini dapat dengan mudah membuka jendela menuju dunia baru ini.
Banyak dampak positif yang dirasakan dari terbukanya jendela dunia, seperti kemudahan komunikasi, akses keuangan inklusif, dan sumber pendidikan yang beragam. Semua ini hanya dapat dicapai dengan perangkat terbaru, yang didukung oleh koneksi.
Namun, layaknya jendela di dunia nyata yang terbuka lebar, membuka jendela informasi berpotensi menimbulkan masalah jika tidak memiliki lapisan pelindung. Jendela dunia di jaringan dapat mengalami tantangan serupa dengan jendela di rumah.
Tidak dapat dipungkiri juga banyak sekali dampak negatif dengan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di ruang digital yang jendelanya terbuka lebar.
Pencurian data, pemerasan online, penindasan digital, penipuan, dan bahkan perjudian on line Itulah beberapa dampak negatif yang banyak dibicarakan, bahkan dialami oleh masyarakat Indonesia karena jendela dunia digital tidak memiliki batasan yang jelas.
Salah satu kelompok yang rentan terhadap segala dampak negatif ruang digital adalah anak-anak. Hal ini juga dibuktikan dengan berbagai temuan data yang menunjukkan dampak negatif ruang digital tidak ramah anak yang memakan korban melalui berbagai kejadian, seperti pornografi bahkan perjudian online.
Untuk pornografi anak, data Pusat Nasional untuk Anak Hilang yang Dieksploitasi (NCMEC) menunjukkan selama empat tahun terakhir (2020-2024) terdapat 5.566.015 konten pornografi anak yang terungkap di Indonesia.
Data lain yang menunjukkan dampak negatif ruang digital yang tidak terlindungi terhadap anak dapat dilihat dari temuan terkait perundungan digital.
Riset bertajuk “Tren Digital pada Anak” yang dirilis Indonesia Indicator mencatat, dalam satu semester tahun 2024, tepatnya pada 1 Januari hingga 21 Juli saja, jumlah unggahan kekerasan digital terhadap anak di media sosial mencapai 24.876, dengan jumlah respon atau pertunangan netizen mencapai 3.004.014.
Baru-baru ini, dampak negatif ruang digital juga terlihat pada banyaknya pemain judi on line yang berasal dari kalangan anak-anak.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dirilis pemerintah melalui Desk Penanganan Perjudian On line baru-baru ini terungkap fakta menyedihkan bahwa ada 80.000 anak di bawah usia 10 tahun yang menjadi pemain dan terjebak dalam perangkap perjudian. on line.
Data-data tersebut menunjukkan urgensi yang jelas bagi Indonesia untuk dapat memberikan payung hukum yang kuat dan secara khusus mengatur keselamatan anak di ruang digital yang luas.
Negara lain
Urgensi peraturan khusus untuk melindungi anak-anak di ruang digital sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Langkah serupa telah diambil oleh banyak negara lain untuk menjaga generasi penerus.
Bahkan, aturan tersebut terus diperbarui mengikuti perkembangan penggunaan internet yang terus mengalami perubahan dinamis dari waktu ke waktu.
Misalnya, negara yang sudah lama memiliki peraturan untuk melindungi anak di ruang digital adalah Amerika Serikat.
Negeri Paman Sam saat ini sudah cukup banyak peraturan yang khusus mengatur perlindungan anak di ruang digital, beberapa di antaranya adalah: Undang-Undang Perlindungan Privasi Online Anak (COPPA) dan Undang-Undang Perlindungan Internet Anak (CIPA).
COPPA yang disahkan pada tahun 1998 secara umum mengatur tata cara pengumpulan data oleh operator situs web untuk anak di bawah usia 13 tahun.
Aturan ini diperbarui sebagai berikut: Undang-Undang Privasi Online Anak-anak dan Remaja yang pertama kali diperkenalkan pada kongres ke 118 tahun 2023.
Hingga tahun 2024 berakhir, upaya penyegaran peraturan masih terus dilakukan dan jika disetujui oleh legislatif AS, maka batas usia perlindungan anak yang sebelumnya maksimal 13 tahun harus ditingkatkan menjadi 16 tahun. Selain itu, akan ada pembatasan bagi operator situs situs web menargetkan iklan kepada anak-anak dan remaja.
Sementara CIPA secara umum mengatur peran sekolah dan fasilitas umum, seperti perpustakaan yang menyediakan akses internet, membatasi akses paparan konten negatif khususnya pornografi bagi pengguna di bawah 13 tahun.
Jika Amerika dirasa terlalu jauh untuk dijadikan bahan pembelajaran, maka Indonesia bisa belajar dari negara yang masih berada di benua Asia yaitu Korea Selatan.
Korea Selatan secara khusus berfokus pada perlindungan privasi di ruang digital untuk anak-anak dan remaja di bawah usia 19 tahun.
Melalui aturan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Anak-anak dan Undang-Undang Perlindungan Informasi Pribadi RemajaNantinya anak-anak pada rentang usia tersebut dapat meminta pengelola data pribadi, seperti platform digital, untuk menghapus pencarian informasi pribadinya secara online, baik yang diunggah oleh mereka secara pribadi maupun oleh pihak ketiga.
Peraturan tersebut akan mulai berlaku pada tahun 2023, untuk memenuhi ketentuan “hak untuk dilupakan”, dengan syarat setiap individu dapat meminta agar data dan jejak pribadinya dihapus dari ruang digital.
Sebenarnya aturan serupa sudah ada sejak 2011, namun hanya berlaku untuk anak di bawah 14 tahun. Mengikuti dinamika ruang digital, otoritas Korea Selatan memutuskan untuk meningkatkan batasan usia menjadi 19 tahun untuk melindungi generasi muda.
Dalam aturan tersebut, perusahaan penyedia layanan media sosial, operator website, dan operator telekomunikasi diminta merumuskan kembali kebijakan informasi pribadi untuk anak dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami.
Contoh terbaru adalah Australia yang baru-baru ini merumuskan peraturan yang melarang penggunaan media sosial bagi generasi mudanya yang berusia di bawah 16 tahun sebagai cara untuk menekan potensi negatif yang mungkin mengancam generasi penerus bangsa dari derasnya arus informasi di era digital. ruang angkasa.
Hal ini disiapkan untuk melengkapi serangkaian peraturan yang telah ada sebelumnya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak di ruang digital.
Harapan
Padahal, ada secercah harapan mengenai adanya payung hukum yang khusus mengatur perlindungan anak di ruang digital Indonesia.
Sejak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) direvisi kedua kalinya dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, perlu ada tambahan aturan sebagai perpanjangan tangan untuk mengatur perlindungan anak di ruang digital.
UU ITE terbaru menambahkan ketentuan yang mengatur bahwa penyelenggara sistem elektronik (PSE) harus memastikan layanannya ramah anak dan hal itu dirinci dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Pasal 16A ayat (1). Pasal tersebut berbunyi, “Penyelenggara sistem elektronik wajib memberikan perlindungan terhadap anak yang menggunakan atau mengakses sistem elektronik.”
Ketentuan berupa peraturan pemerintah untuk menindaklanjuti ketentuan teknis mengenai perlindungan anak di ruang digital dijanjikan akan selesai pada tahun 2024.
Peraturan yang disusun dengan nama Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Perlindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (TKPAPSE) ini akan memasuki tahap harmonisasi pada Agustus 2024.
Namun hingga saat ini, proses untuk menjadikan rancangan tersebut menjadi peraturan perundang-undangan tampaknya masih berjalan dan tampaknya belum akan disahkan dalam waktu dekat.
Meski regulasi ini terkesan belum ada kemajuan, namun kehadiran Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto mampu mengakselerasi laju tantangan digitalisasi yang mengancam generasi muda ini.
Hal ini disebabkan adanya penyegaran nomenklatur Kementerian Komunikasi dan Informatika yang diubah menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital.
Nama baru tersebut membawa harapan agar urusan terkait digitalisasi dapat segera tertangani, sejalan dengan Visi Indonesia Digital (VID) 2045.
Dalam hal menjaga ruang digital ramah anak, Meutya Hafid yang dipercaya menjabat Menteri Komunikasi dan Digital bahkan berjanji di awal kepemimpinannya bahwa hal tersebut akan menjadi bagian dari program prioritas.
Tepat setelah dilantik menjadi Menteri, 21 Oktober 2024, saat kunjungan pertamanya ke kantor Kementerian Kominfo, ia menyatakan fokus programnya yakni bagaimana internet bisa ramah anak. Bagaimana anak-anak kita dapat dilindungi dari praktik perdagangan manusia, pornografi anak, dan kekerasan terhadap anak juga akan menjadi fokus dalam pemanfaatan ruang digital.
Janji komitmen pejabat publik dan proses penciptaan ruang digital yang ramah tentunya harus diwaspadai masyarakat agar dapat segera dipenuhi sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam melindungi generasi muda.
Jika kepastian hukum bagi generasi penerus bangsa di ruang digital terpenuhi, maka setiap ancaman atau kejahatan yang menyasar mereka dapat diadili di pengadilan dan memberikan efek jera bagi pelakunya.
Kehadiran payung hukum untuk melindungi anak di ruang digital juga penting untuk melengkapi upaya mendidik anak Indonesia melalui gerakan literasi digital.
Dengan demikian, generasi muda dapat memanfaatkan ruang digital sebagai ruang publik yang aman dan dapat menjadi ruang pertumbuhan untuk mengoptimalkan pemanfaatan konektivitas telekomunikasi secara bermakna, guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Hak Cipta © ANTARA 2024