Suarainspiratif.com,
Jakarta, . Indonesia – Berada pada pertemuan lempeng tektonik membuat Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam, termasuk ledakan gempa besar alias megathrust. Sejauh ini, belum ada teknologi yang bisa memprediksi bencana tersebut. Jadi, yang terbaik adalah belajar berdamai dengan alam karena sulitnya kita menghindari aktivitas tektonik.
Sejarah mencatat berbagai aktivitas tektonik di dunia, banyak diantaranya berada di Indonesia. Tak heran jika pemerintah kini bersiap menghadapi risiko bencana yang semakin tinggi. Salah satu bencana terbesar di dunia yang berpusat di Indonesia adalah letusan gunung berapi super Toba 74.000 tahun yang lalu.
Kini, masyarakat melihat Toba sebagai danau terbesar dan terdalam di Asia Tenggara. Namun tak banyak yang tahu kalau dibalik keindahannya, Toba sebenarnya adalah kaldera gunung berapi. Akibat terisi air, kaldera tersebut berubah menjadi danau.
Saat meletus 74.000 tahun lalu, Gunung Toba memuntahkan 2.800 km3 material dan membunuh 90% populasi prasejarah bumi. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan letusan Gunung Tambora (1815) dan letusan Gunung Krakatau (1883). Kedua letusan gunung berapi ini terekam dalam benak manusia. Namun letusan Toba tidak terjadi.
Saat Toba meletus tidak banyak orang sehingga tidak ada kesaksian tertulis mengenai hal tersebut. Meski begitu, kita bisa membayangkan dahsyatnya letusan dari jejak tektonik dan vulkanik Toba yang tersebar hingga ke seluruh dunia.
Dalam penelitian “Supererupsi Toba 74.000 Tahun Lalu” (2013), diketahui bahwa saat Toba meletus, gunung tersebut memuntahkan 4.000.000 km.2 abu vulkanik. Kemudian menghasilkan gempa besar setara 0,42 juta megaton TNT atau setara 21 juta kali bom atom Hiroshima.
Lautan praktis terkena getaran gempa sehingga menimbulkan gelombang tinggi yang kini dikenal dengan istilah tsunami. Para ilmuwan meyakini tsunami Toba lebih tinggi dibandingkan tsunami Aceh yang disebut-sebut sebagai tsunami terburuk sepanjang sejarah.
Foto: PUPR
Danau Toba
|
Parahnya lagi, letusan Toba bisa disaksikan di banyak wilayah di dunia. Tercatat di Samudera Hindia, Teluk Benggala, hampir seluruh Asia Selatan, Tiongkok, dan Arab terdapat jejak endapan abu vulkanik Toba. Hal ini bisa terjadi karena letusan Toba berlangsung 9-14 hari dengan ketinggian 50-80 km.
Selain menimbulkan tsunami besar dan abu vulkanik menutupi bumi, letusan ini juga mengganggu cuaca dan iklim. Saat Toba meletus, sejumlah besar abu halus dan aerosol berada di atmosfer. Hingga 10 miliar ton aerosol telah tercatat di atmosfer. Akibatnya sinar matahari tidak dapat menembus abu sehingga dunia mengalami penurunan suhu sebesar 4oC.
Akibatnya musim dingin terjadi terus menerus selama 6-10 tahun. Ketika suhu menurun, kehidupan praktis di dunia juga berubah. Tanpa sinar matahari, fotosintesis tumbuhan tidak akan berjalan sehingga gagal tumbuh. Jika gagal, produksi pangan manusia juga terganggu, yang kemudian berdampak pada degradasi populasi manusia.
Peneliti A. Gibbsons dalam “Pleistocene Population Explosions” (1993) mengatakan populasi manusia pasca letusan Toba menurun drastis. Dari yang semula 100.000 individu berubah menjadi 10.000. Alias 90% manusia binasa.
Jika hal ini terjadi, mereka yang masih hidup akan bermigrasi. Proses migrasi inilah yang kemudian menjadikan umat manusia modern semakin bervariasi, yang akibatnya dapat dilihat pada keberagaman manusia saat ini.
Entah “beruntung” atau tidak, letusan Toba terjadi saat bumi masih sepi penghuni. Berbeda halnya dengan letusan Tambora dan Krakatau yang sudah banyak memakan korban jiwa. Bisa dibayangkan, saat Toba meletus pada tahun 1800-an, sudah berapa miliar orang yang meninggal.
Kini, Toba tertidur pulas. Banyak ahli yang mengatakan Toba sudah tidak bisa aktif atau meletus. Meski begitu, matinya Toba tidak boleh membuat kita mengabaikan aktivitas tektonik dan vulkanik.
Danau Toba menjadi bukti keganasan letusannya. Danau ini terbentuk dari kawah gunung berapi akibat letusan yang sangat besar disertai runtuhnya batuan pendukung ke dalam ruang magma yang berada di dalam gunung. Inilah yang kemudian disebut sebagai kaldera.
Catatan mengenai sejarah bencana hendaknya membuat kita lebih waspada dan menuntut kita belajar berdamai dengan alam. Sebab, potensi gempa selalu ada dan manusia di atasnya tidak bisa menghindarinya.
(mfa/saat ini)
Artikel Berikutnya
Media Asing Soroti Gempa Megathrust RI, Sebut Ini